Entri Populer

Rabu, 23 Maret 2011

Madura Pejantan

Sedari kecil, nama pulau Madura saya kenal sebagai pulau penghasil garam di Indoesia. Saya juga ingat pulau ini dengan senjata khas warganya, clurit. terus ada juga pakaian khas lurik merah putih bernama sakera..terus satu wisata khas daerah itu..karapan sapi..semuanya terekam kembali masa silam saat sekolah…apalagi aku yang bersuku bugis makassar, tentu belajar hanya melalui buku-buku sejarah dan kekuatan mengajar para guru ‘tempo doeloe’ yang paham benar kondisi Indonesia meski juga hanya sekedar lewat bacaan…tapi Minggu 4 Oktober 2009, kusempatkan diriku ke pulau yang kusebut sebagai sang pejantan.
Tidak pernah kubayangkan aku bisa menginjak pulau khas itu..awalnya sekedar ingin menikmati bagaimana rasanya menyeberangi ‘jembatan suramadu’ yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura..apalagi jembatan ini dikenal sebagai jembatan terpanjang di Indonesia…
Ditemani rekanku Mas Purnomo bersama anak bungsunya Ahmad Arsyad Arif (10 thn), kuseberangi jembatan itu dengan sepeda motor, cukup dengan bayar di pintu tol Rp 3 ribu, semuanya jalan..padaal bukan aku yang saja yg menikmatinya. Warga kota Surabaya dan sekitarnya teryata banyak yang sekedar ingin ber’suramadu’…itu terlihat dengan lalu lalangnya kendaraan roda empat dan dua dengan nomor polisi kota surabaya…
Kira-kira 15 menit lamanya kami menyusuri jembatan itu..elok rasanya…da sadarlah aku..jika Pulau Madura telah kupijak. pertama dalam hidupku. penasaran dengan apa yang ada di pulau itu, kuajak mas Pur. “yok Mas, keliling yuk” kataku. Mas Pur mengiya, padahal ia sendiri belum pernah keliling pulau itu. kami sepakat cukup di wilayah kabupaten Bangkalan saja.
sepeda motor kami melaju kearah poros bangkalan-Pamekasan, dengan mengikuti jalan lama rel kereta api eks kolonial Belanda. Kecamatan itu bernama Kecamatan Kwanyar. meski sepi, wilayah ini sudah menggambarkan Madura zaman dulu, dimana-mana kulihat wanita bersarung, lelaki dengan kopiah dan srung serta kumis tebal khas Madura…cukup jauh kami berjalan…singgalah kami di sebuah warug makan sekedar menikmati sate khas Madura.
Di warug makan itu kami banyak diskusi soal Madura. yang empunya warung cukup rajin bertutur, saya pun mengaku dari Sulawesi sehingga banyak cerita kuperleh tentang pulau ini. sekitar 2 jam lamanya kami istrahat disana,,,terus menyusuri kecamatan Tragah dan kota Bangkalan Sendiri.
Memang Bangkalan tak seramai Kota Bau-Bau, lebih sepi namun eksentrik. itu pikiran objektifku. maklum kotanya biasa-biaa saja..banyak lahan kosong nan kering kerontang, panas lagi. Tapi saya menjadi terhibur, kalau aku bisa putar-putar pulau ini. Dibeberapa tempat aku ditawari cederamata berupa Cemeti dan Clurit, dua senjata khas Madura..saya pun membanding-banding dengan Badik Khas Sulawesi. Tapi bukan itu yang membuatku tertarik…saya lebih merasa ebagai orang Indonesia ketika melihat lelaki Madura mengguakan pakaian kebesaran ‘Sakera’. Saya pun bergumam dalam hati..inilah Pejantan Madura sebenarnya…
Meski begitu keraahan kutemukan dimana-mana…tak seperticerita orang kebanyakan yang menyebut Madura ‘negeri yang keras’…biasa saja…tapi yang pasti saya benar-benar merasa menjadi orang Indonesia…tepat pukul 15.00 kuputuskan kembali ke Surabaya..tentu dengan melewati jembatan Suramadu lagi…ikon baru Jawa Timur…Madura kamu cantik…negeri Sang pejantan..(***)

Halim Perdana Kusuma, Pahlawan dari Madura

Halim Perdana Kusuma

Pahlawan Nasional ini sudah tidak asing bagi bangsa Indonesia, terutama di kalangan TNI Angkatan Udara. Nama lengkapnya Abdul Halim Perdana Kusuma, lahir di Sampang, Madura pada tanggal 18 November 1922. Ia merupakan anak seorang Patih di Sampang bernama bernama Haji Raden Mohammad Bahauddin Wongsotaruno, sedangkan Ibunya bernama Raden Ayu Ayisah.

Adapun jenjang pendidikan dimulai di Holands Inlandshe School (HIS) sederajat Sekolah Dasar di Sampang pada tahun 1928, kemudian Ia melanjutkan ke Middebar Uitgebreid Langer Onderwijs tahun tahun 1935, dan selanjutnya ke sekolah Pamong Praja di kota Magelang.

Setelah menyelesaikan pendidikan di kota Magelang, Ia diangkat menjadi calon Mantri di kantor Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan pada saat itu dunia dalam ambang peperangan. Awal kariernya di dunia kemiliteran sewaktu menerima perintah Bupati Probolinggo untuk mengikuti pendidikan Perwira Angkatan Laut Belanda di Surabaya.
Pengalaman Perang Dunia Kedua

Pengalaman perang dimulai sewaktu bertugas sebagai Perwira Angkatan Laut di Kapal Terpedo bersama tentara Belanda untuk melawan Sekutu. Pada pertempuran tersebut kapal Terpedo di mana Halim Perdana Kusuma bertugas terkena Bom pihak musuh. Namun para awaknya dapat diselamatkan oleh kapal perang Inggris yang selanjutnya dari Cilacap dibawa ke Australia, lalu ke India. Selama di India Halim Perdana Kusuma mengadakan hubungan dengan Pangkalan Armada, dari hubungan tersebut Ia mengajukan permohonan untuk pindah ke Angkatan Udara. Jawabannya ia dikirim ke Gibraltar dan London, namun pada akhirnya Halim Perdana Kusuma mengikuti pendidikan Royal Canadian Air Force (Angkatan Udara Kerajaan Kanada) jurusan Navigasi.

Halim Perdana Kusuma pernah menjadi awak pesawat Pembom Jerman dan beberapa kali mengalami peristiwa yang sangat mendebarkan, dari berbagai pengalaman tersebut menjadikan dirinya matang dalam dunia penerbangan. Selain itu Ia juga pernah menjadi anggota Angkatan Udara Kerajaan Inggris (Royal Air Force) bertugas di Skadron tempur yang memiliki pesawat Lancester dan Liberatur. Selama Ia bertugas di Skadron tersebut sudah 42 kali ikut dalam serangan udara terhadap wilayah Jerman dan Prancis, namun yang anehnya adalah setiap kali ia ikut dalam serangan seluruh pesawat dapat kembali dengan selamat, dari peristiwa itulah Ia dijuluki “The Black Mascot” artinya si Jimat Hitam.

Selama 3 tahun berada di luar negeri telah banyak pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya seperti teknik penerbangan, taktik perang udara dan penguasaan navigasi. Pengetahuan dan pengalaman tersebut Ia sumbangkan ke Angkatan Udara Republik Indonesia sebagai bentuk darma baktinya terhadap bumi pertiwi yang pada saat itu masih dalam gemgaman penjajah Belanda.

Disetiap perundingan antara perwira Angkatan Udara Inggris (Royal Air Force) Halim Perdana Kusuma selalu mendampingi Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU) Republik Indonesia, bahkan Ia selalu diminta oleh Panglima Angkatan Perang Indonesia Jenderal Sudirman untuk menjelaskan perkembangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Setelah Ia diangkat menjadi Perwira Operasi dengan Pangkat Komodor Udara, Halim Perdana Kusuma mulai mempersiapkan AURInya untuk mengadakan penyerangan terhadap kota-kota yang diduduki Belanda sebagai aksi balasan terhadap kecurangan Belanda terhadap Republik Indonesia. Adapun sasarannya adalah daerah Ambarawa, Salatiga,a Semarang, dan beberapa kota lainnya. Bom-bom yang dijatuhkan hanya diikat pada bagian bawah kedua sayap pesawat.

Abdul Halim Perdana Kusuma bersama rekan-rekannya seperti Agustinus Adisucipto, Abdurrachman Saleh dan Iswahyudi serta yang lainnya berusaha memperbaiki pesawat-pesawat tua bekas tentara Jepang yang kebanyakan telah rusak dan seharusnya telah masuk museum, namun berkat keuletan dan ketekunan serta adanya pengalaman akhirnya pesawat-pesawat tersebut dapat dipergunakan kembali dan selanjutnya untuk menyerang musuh.

Sebagai perwira senior bidang operasionil dan ditambah pengalaman pada perang dunia II, Ia telah beberapa kali dapat menerobos ke pertahanan musuh dan berhasil membawa senjata, obat-obatan serta amunisi. Disamping bertugas sebagai penerbang tempur, Halim Perdana Kusuma ditugasi untuk mengantarkan para pejabat tinggi negara ke berbagai daerah di tanah air dan juga ke luar negeri.

Abdul Halim Perdana Kusuma terkenal dekat dengan anak buahnya, terutama dalam hal latihan terjun paying, sering ia membantu anak buahnya dalam hal ini dengan tujuan agar anak buahnya tidak gentar serta ragu-ragu dalam melaksanakan terjun paying terutama dalam keadaan darurat. Selain itu ia pernah mengikuti formasi penerbangan dari Maguwo ke Kemayoran, penerbangan ini sangat penting artinya bagi AURI terhadap eksitensinya di luar negeri, karena dari penerbangan ini dapat kita tunjukan bahwa AURI memiliki penerbang-penerbang yang handal dan mampu membuktikan diri sehingga dunia internasional mengakui keberadaan TNI AU kita.

Pemuda yang gagah berani ini berhasil mempersunting gadis Madiun bernama Kussadalina pada tanggal 24 Agustus 1947. Putera Bangsa ini menjadi teladan bagi generasi berikutnya, karena hampir seluruh hidupnya ia curahkan kepada kepentingan nusa dan bangsa.

Abdul Halim Perdana Kusuma gugur tanggal 14 Desember 1947 ketika pesawat Avro Anson RI – 003 dari Muangthai yang akan singgah di Singapore untuk mengambil obat-obatan, namun kabut dan angin kencang memaksa melakukan pendaratan darurat, tetapi usaha itu gagal akibatnya pesawat yang dikemudikan oleh penerbang Iswahyudi tersebut menghantam pohon dan badan pesawat hancur berkeping-keping sedangkan Iswahyudi dan Halim Perdana Kusuma dinyatakan tewas. Peristiwa tragis ini terjadi di Labuhan Bilik besar antara Tanjung Hantu dan Teluk Senangain di pantai Lumut.
Jenasah Halim Perdana Kusuma dikebumikan di Tanjung Hantu tanggal 14 Desember 1947, hadir pada waktu itu antara lain Dr. Burhanudin Al Helmi, Dr. Ishak Haji Muhammad, Abdul Rahman Rahim, Datuk Abdulah Ayub, Baharudin Latif, Ghalib Sahun Haji Ramli, Ahmad Mohammad Aref, Anggota partai kebangsaan Melayu dan masyarakat Indonesia di Malaya. Jenazah Pahlawan Nasional kemudian dipindahkan dan dimakamkan dengan upacara kebesaran di Makam pahlawan Kalibata Jakarta tanggal 10 November 1975.

Almarhum meninggalkan seorang Istri yang pada saat itu sedang hamil empat bulan, atas jasa-jasanya almarhum dianugrahi penghargaan dari Presiden Soeharto tanggal 23 Agustus 1975 sebagai “PAHLAWAN NASIONAL,” selanjutnya juga mendapat Bintang Maha Putera tingkat IV atas jasa-jasanya terhadap TNI Angkatan Udara yang telah ikut mendirikan dan membina AURI, peristiwa tersebut dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 1961. Untuk mengenang jasa beliau, Halim Perdana Kusumah diberikan pangkat Anumerta dari Komodor Udara menjadi Laksamana Muda TNI AU, dan selanjutnya nama beliau diabadikan pada sebuah pangkalan udara Cililitan yang kita kenal dengan Lanud Halim Perdana Kusumah.

Sakera Pahlawan Madura

Cerita kepahlawanan Sakerah bermula ketika tokoh berdarah Madura itu membela para kuli kebun tebu milik pabrik gula Kancil Mas Bangil. Upah para kuli dipotong oleh mandor bawahan Sakerah.

Dengan tegas, Sakerah meminta kepada mandor untuk memberikan hak para kuli sepenuhnya. Tindakan itu dianggap sebagai tantangan, Sakerah pun dilaporkan pada pimpinan pabrik. Sakerah yang buta huruf, berada di posisi yang salah, karena membubuhkan cap jempol di bukti pembayaran. Sakerah dituduh korupsi.

Apalagi saat Herman, administratur pabrik gula menodongkan pistol di kepalanya. Tak kuasa menahan emosi, ia tepiskan pistol Herman dan langsung membacoknya dengan celurit. Akibatnya, hukuman penjara 25 tahun harus ia terima.

Ia mendekam di penjara kolonial Kalisosok Surabaya. Sakerah, sosok yang tidak bisa melihat wong cilik diperlakukan semena-mena. Saat dipenjara, tiba-tiba ia bertemu pamannya. Paman Sakerah sengaja mencuri agar dapat menemui keponakannya. Menurut penuturan sang paman, perilaku mandor semakin tidak terkendali. Selain itu istri muda Sakerah, Marleena kerap dirayu Brodin, keponakan Sakerah.

Sakerah kabur dari penjara. Dengan sekali tebas, dia membunuh Brodin. Tak hanya itu, Sakerah juga membunuh carik dan petinggi. Tak ayal, dirinya pun jadi target pengejaran Gupermen. Sakerah dijebak dalam suatu pesta tayub. Tokoh legendaris Madura itu berhasil ditangkap, dan akhirnya dihukum mati.

Jumat 27 Februari 2009 malam, Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki terlihat padat. Dibuka dengan Tari Remo dan diselingi parikan khas Jawa Timuran, Kartolo sang maestro ludruk berhasil memancing tawa ratusan penonton. Selain Kartolo, tampak pula beberapa petinggi, layaknya Basofi Sudirman, Oetojo Oesman dan Sony Wibisono.

Tapi kehadiran petinggi-petinggi itu bukan sebagai penonton. Mereka tengah mementaskan pagelaran ludruk berlakon 'Sakerah'. Selain itu pagelaran juga dimeriahkan oleh Ludruk Metropolis, tampak pula Miss Indonesia, Kamidia Radisti, yang berperan sebagai Noni Belanda. Sedangkan pemeran utama Sakerah dilakoni Sutan Remy Sjahdeini, Komisaris utama PT Danareksa.

Pementasan berdurasi tiga setengah jam itu riuh oleh tawa. Tak jarang terdengar celetukan dari bangku penonton. Mereka tampak melebur dalam cerita 'Sakerah.' Iring-iringan gamelan pun kian menghangatkan malam. Penonton juga diajak mengenal lagu daerah Jawa Timuran, Tanduk Majeng. Pagelaran Sakerah kian meriah.

Sayang, di akhir adegan, tepat saat pistol ditodongkan ke Sakerah, lampu panggung pun padam. Penonton sempat mengira jika hal ini bagian dari cerita, ternyata bukan. Namanya juga ludruk, listrik mati bukanlah penghalang.

Meski penonton mulai berteriak, "Sakerah nggak jadi mati, cerita bersambung ke Sakerah Dua," teriak para penonton. Sakerah tetap lanjut. Beruntung tiga menit kemudian listrik kembali menyala. Dan "Dor, dor, dor !!!" Sakerah pun akhirnya mati. Dan penonton yang rata-rata orang Jawa Timur riuh bertepuk tangan.

Trunojoyo Pahlawan Madura

Orang yang ditunggu-tunggu untuk memimpin pemberontakan ahirnya tampil kedepan ialah Raden Trunojoyo Putera Pangeran Malujo yang juga anak menantu dari Raden Kajoran yang tidak puas dengan Amangkurat I.

Raden Trunojoyo berjuang karena ingin membasmi ketidakadilan di Mataram dan kembali ke Madura, di Madura ia disambut gembira oleh rakyatnya yang sudah tidak senang terhadap pemerintahan Cakraningrat II dengan mudah Trunojoyo menaklukan Madura.
 
Sebenarnya pengaruh Pangaran Maduratno sudah tertanam di kalangan Bangsawan Madura terutama angkatan mudanya, diceritakan putera pangeran Cokronegoro Raden Bugan yang berusia 3 tahun yang dibawa lari ke Cirebon ketika Madura mengalami peperangan dan oleh sultan Cirebon dipelihara sebagai anaknya sendiri serta diberi pelajaran Agama Islam kemudian ia melanjutkan pelajaran Agama tersebut di Giri.
 
Disana ia berjumpa dengan Raden Trunojoyo yang juga belajar Agama Islam disana dan saling kenla mengenal dengan baik, selesai belajar dipesantren kemudian Raden Bugan oleh Sultan Cirebon disuruh untuk pulang ke Sumenep ia pulang dari Cirebon dengan menaiki perahu, sesampainya diselat Madura ia berhenti Pulau Gili Mandang yang disebut pula Pulau Kambing yang sekarang termasuk kabupaten Sampang.

Disana ia bertapa beberapa hari lamanya didekat kuburan keramat seorang Bupati zaman dulu dan kuburannya bangsa Cara yang yang meninggal dunia disana beserta Anjing-anjingnya, ia berjumpa dengan Raden Trunojoyo  yang juga bertapa disana.
Waktu bertemu di Pulau itulah, Raden Trunojoyo dan Raden Bugan telah berjanji untuk bersahabat selama-lamanya, Raden Trunojoyo berpesan bahwa suatu waktu ia akan mengunjungi Sumenep. Sesampainya di Sumenep ia diangkat sebagai Menteri Kabupaten dengan diberi gelar Raden Wongsojoyo, pada suatu waktu Bupati Sumenep menerima berita bahawa Raden Trunojoyo akan berkunjung ke Sumenep. Yaingpatih menjadi kuatir serta takut menerima kabar itu seluruh pemimpin2 dikumpulkan di Kabupaten termasuk Raden Bugan.
 
Dalam pertemuan itu dibicarakan siapa yang akan menerima kedatangan Raden Trunojoyo seluruh pembesar di Sumenep berpendapat bahwa yang menerima kedatangan Trunojoyo ialah Yang Patih sendiri, akan tetapi Yangpatih sendiri takut untuk berhadapan langsung dengan Trunojoyo, terutama ketika nantinya akan berperang. Raden Wongsojoyo bersedia mengganti Eyang Patih untuk menyambut kedatangan Trunojoyo, asal ia diperkenan membawa pasukan yang berjumlah 700 orang yang berpakaian yang biasa dipakai oleh Tumenggung Yang Patih, dalam hal ini Yang Patih tidak keberatan.
 
Keesokan harinya berangkatlah Wongsojoyo meninggalkan Sumenep dan samapi di Prenduan sudah sore hari karena iti mereka memerlukan untuk menginap di desa itu, pada waktu itu pula Raden Trunojoyo sudah sampai diperbatasan Kabupaten Pamekasan dengan Kabupaten Sumenep dan juga membawa pasukannya.
 
Pada malam harinya mereka berdua dengan masing-masing memakai kudanya bertemu di desa Kaduara Timur ditempat itu kedua pemimpin tersebut berbicara sampai dini hari, pasukan dari Sumenep mengire bahwa Raden Wongsojoyo sudah ditawan oleh Raden Trunojoyo oleh karena itu mereka lari-lari ke Sumenep untuk memberitahukan kepada Yang Patih, ketika mendengar kabar itu Eyang Patih merasa ketakutan dengan kudanya ia lari bersama keluarganya ke Sampang melalui sebelah utara.
 
Raden Wongsojoyo dan Raden Trunojoyo di ikuti oleh pasukannya terus menuju ke Sumenep, dipinggir jalan rakyat melihatnya, ada yang mengatakan bahwa Wongsojoyo telah ditangkap dan ada yang mengatakan kali Trunojoyo yang ditangkap oleh Wongsojoyo untuk dihadapkan ke Bupatinya. Setelah kedua pemimpin itu mendengar bahwa Yang Patih, Bupati Sumenep telah lari ke Sampang dan tidak akan kembali lagi, maka dengan persetujuan Trunojoyo dan Wongsojoyo dilantik menjadi Raja di Sumenep dan diberi Gelar Tumenggung Judonegoro atau disebut Macan Wulung (tahun 1672) kemudian Judonegoro kawin dengan anak keponakan Trunojoyo yang bernama Nyai Kani Putra-putranya ialah  :
 
1.    Bernama Raden Ayu Batur.
2.    Raden Ayu Artak.
2.    Raden Ayu Otok
4.    Raden Ayu Kacang, semuanya perempuan
 
Selain dari Raden Kajoran, Sunan Giri juga tidak senangkepada Amangkurat I karena berhubungan dengan Kompeni, orang kafir, juga Sultan Agung Tirtayasa dari Banten mendukung Trunojoyo. Trunojoyo mendapat bantuan yang terbanyak dari orang-orang Makassar yang yang melakukan perampokan-perampokan di lautan sekitar Jawa Timur, setelah orang-orang Makassar jatuh mereka memerangi Belanda dari Banten dan Madura dengan timbulnya perlawanan dari Trunojoyo mereka memberi kesempatan kepada mereka untuk melawan politik pelebaran kekuasaan dari Kompeni, tokoh dari orang Makassar ialah Kraeng Galesong. Persekutuan ini diperkuat dengan perkawinan puteri Trunojoyo dengan pemimpin Makassar itu.
 
Melihat perkembangan Trunojoyo begitu pesat maka Adipati Anom putera Mahkota berpihak kepada ayahnya kembali, dari Mataram dikirim Angkatan Darat yang kuat yang dipimpin oleh Putera Mahkota sendiri untuk menghancurkan tentara Trunojoyo.  
 
 
 
Pada tanggal 13 Oktober 1676 kedua pasukan mulai bertempur di Gegedok, Adipati Anom tidak begitu memperhatikan pertempuran sehingga tentara Mataram mendapat kekalahan yang besar, perasaan benci makin besar pada diri Adipati Anom  kompeni merasa demikian pula, bahkan disertai rasa kawatir sebab dengan kekalahan Mataram di Gegedok itu  seluruh Jawa Timur sampai di Semarang dikuasai Trunojoyo.
 
Amangkurat I sangat menderita dengan kekalahan itu dan kerajaan Mataram menjadi suram. Sebagaimana disebutkan diatas tidak hanya Mataram yang kalah tetapi juga Kompeni merasa terdesak, karena itu Speelman berangkat ke Jepara, satu-satunya pantai yang masih bertahan, dari Jepara Speelman menuju Surabaya menyerang pusat kekuasaan Trunojoyo, pertempuran hebat terjadi ahirnya Surabaya dapat diduduki Kompeni tetapi Trunojoyo dapat meloloskan diri dan bermarkas di Kediri, waktu itu Kompeni tidak bisa menyerang terus kepedalaman karena itu untuk melemahkan tentara cadangan, setelah Kompeni sampai ke Madura pertempuran berkobar sehingga Kompeni menderita kerugian cukup banyak antara lain nahkoda, dua orang dokter dan 24 tentara Belanda yang tewas.
 
Pada waktu Speelman ada di Madura ia mendengar berita yang sangat mengejutkan dirinya ialah keraton Karta (Mataram) jatuh ditangan Trunojoyo dan ibu Kota Mataram didudukinya, Speelman cepat-cepat kembali ke Surabaya untuk mengecek kebenaran berita itu dan ternyata berita itu benar.
 
Dalam keadaan sakit Amangkurat I terpaksa mengungsi dan diikuti putera Mahkota Adi Anom, penyakit sesuhunan makin keras dan sebelum ia meninggal dunia Adipati Anom dilantik menjadi sesuhunan menggantikan ayahnya, ahirnya setelah Amangkurat I meninggal jenazahnya dikuburkan di Tegalwangi berhubung Kerajaan jatuh ditangan Trunojoyo berarti pula Mahkota kerajaan yang berasal dari Mojopahit dikuasainya selain itu, Trunojoyo mengawini salah seorang puteri Amangkurat I.
 
 

Suramadu

Dalam review studi kelayakan Jembatan Surabaya-Madura tahun 2002, disebutkan ada beberapa pertimbangan mengenai dampak dan manfaat dari keberadaan Jembatan Suramadu. Di antaranya adalah:

Manfaat Langsung (Primary Benefit)

Manfaat langsung dari Jembatan Suramadu adalah meningkatnya kelancaran arus lalu lintas atau angkutan barang dan orang. Dengan semakin lancarnya arus lalu lintas berarti menghemat waktu dan biaya. Manfaat selanjutnya adalah merangsang tumbuhnya aktivitas perekonomian. Manfaat langsung lainnya yang dapat diperhitungkan adalah nilai penerimaan dari tarif tol yang diberlakukan. Transportasi barang dan orang yang semakin meningkat, akan meningkatkan penerimaan dari tarif tol.

Manfaat Tidak Langsung (Secondary Benefit)

Manfaat tidak langsung atau manfaat sekunder adalah multiplier effect dari Jembatan Suramadu. Ini merupakan dinamika yang timbul dan merupakan pengaruh sekunder (secondary effect), antara lain:
  • Meningkatnya jumlah penduduk akan merangsang naiknya permintaan barang dan jasa. Selanjutnya akan merangsang meningkatnya kegiatan perekonomian, berkembangnya usaha di sektor pertanian, industri, perdagangan, jasa dan meningkatnya arus barang masuk ke Pulau Madura.
  • Meningkatnya kebutuhan untuk kawasan pemukiman dan infrastruktur
  • Meningkatkan PDRB dan kesejahteraan masyarakat.
Di Madura, umumnya kegiatan ekonomi masih bertumpu pada sektor pertanian primer (tanaman pangan, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan). Artinya pertanian atau sektor tradisional menjadi sektor andalan yang nampak dari perolehan PDRB terbesar dibandingkan sektor lain. Sektor lainnya adalah pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik, gas, air bersih, bangunan, perdagangan, hotel, restoran, angkutan, pos, komunikasi, keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan.


Dampak Jembatan Suramadu

Dampak dari jembatan Suramadu (tahun 2006-2035) dapat dijelaskan sebagai berikut:

Jembatan Suramadu dan Pertumbuhan PDRB

Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto yang terjadi pada 4 (empat) kabupaten di wilayah Madura dapat dijelaskan:
Dari data-data pada tabel Dampak Jembatan Suramadu terhadap Pertumbuhan PDRB di 4 Kabupaten di Madura, dapat dijelaskan bahwa Kabupaten Bangkalan nilai pertumbuhan PDRB-nya paling besar di antara kabupatenkabupaten di Madura. Hal tersebut terjadi karena Bangkalan merupakan daerah yang paling menikmati keberadaan jembatan Suramadu. Apabila dilihat dari pertumbuhan PDRB dapat disimpulkan bahwa makin dekat dititik/ letak jembatan Suramadu akan semakin menunjukkan perubahan yang cepat akibat meningkatnya aktivitas ekonomi.

Peningkatan PDRB Kabupaten Bangkalan yang besar menunjukkan bahwa dampak jembatan Suramadu akan dapat mengembangkan sistem perekonomian yang ada, baik yang sudah berkembang maupun yang potensial untuk dikembangkan.
Jembatan Suramadu dan Pertumbuhan Penduduk

Semakin lancarnya transportasi akan menimbulkan dampak pergerakan orang maupun barang. Sebelum dibangunnya Jembatan Suramadu, secara berturut-turut kabupaten yang terbanyak penduduknya adalah Sumenep, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Ternyata Kabupaten Bangkalan merupakan kabupaten yang menerima kelimpahan penduduk paling tinggi dibanding 3 kabupaten lainnya. Pada tahun 2035 atau setelah 30 tahun dibangunnya Jembatan Suramadu, maka jumlah penduduk di Kabupaten Bangkalan berjumlah 2,79 juta jiwa atau hampir dua kali lipat (98,98%) dibanding pertumbuhannya tanpa jembatan (1,40 juta jiwa). Dalam keadaan tersebut, tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun berkisar antara 2,02% - 3,16%.

Di Kabupaten Pamekasan, Sumenep, dan Sampang, tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun secara berturut-turut masing-masing berkisar antara 0,71%-0,51% atau dengan pertumbuhan yang cenderung menurun, 0,66%-1,45% dan 0,44%-0,50%. Jika jumlah penduduk dibandingkan dengan dan tanpa Jembatan Suramadu maka jumlah penduduk rata-rata per tahun di Bangkalan akan bertambah sebanyak 59,30%, Pamekasan (23,42%), Sumenep (18,65%), dan Sampang (12,62%).

Jembatan Suramadu dan Pertumbuhan Income per Kapita

Semakin lancarnya transportasi ternyata akan meningkatkan kegiatan ekonomi yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan. Income per kapita merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebelum dibangunnya Jembatan Suramadu, secara berturut-turut kabupaten yang tertinggi income per kapitanya adalah Kabupaten Bangkalan, Sumenep, Sampang, dan Pamekasan

Jika income per kapita dibandingkan dalam keadaan dengan dan tanpa Jembatan Suramadu, maka income per kapita rata-rata per tahun di Bangkalan adalah akan bertambah sebanyak 93,63%, Pamekasan (48.68%).

Sampang (42,57%) dan Sumenep (20,03%). Sesudah dibangunnya Jembatan Suramadu, secara berturut-turut kabupaten yang tertinggi income per kapitanya adalah Kabupaten Bangkalan, Sumenep, Pamekasan, dan Sampang. Tampaknya respon ekonomi Bangkalan tetap lebih kuat dibanding tiga kabupaten lainnya.

Jembatan Suramadu dan Pertumbuhan Kawasan Permukimam

Semakin lancarnya transportasi juga menimbulkan dampak pada pertumbuhan kawasan pemukiman. Sebelum dibangunnya income per kapita. .

Jembatan Suramadu, secara berturut-turut kabupaten yang terluas kawasan pemukimannya adalah Kabupaten Sumenep, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.

Setelah dibangunnya Jembatan Suramadu ternyata Kabupaten Sumenep merupakan kabupaten yang memiliki kawasan pemukiman terluas dibanding 3 kabupaten lainnya. Akan tetapi kalau melihat perbandingannya terhadap luas areal lahan yang tersedia, Kabupaten Bangkalan yang mengalami pertumbuhan kawasan pemukiman lebih pesat dibandingkan dengan 3 kabupaten lainnya.

pakaian adat Madura


karapan sapi


aneh

Minggu, 20 Maret 2011

Carok

Carok merupakan tradisi pembunuhan disebabkan karena alasan tertentu yang berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok atau antar klan [1]dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri dan "keluar" dari masalah yang pelik.
Biasanya, "carok" merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga)
Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang tradisi Carok.[rujukan?]
Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti 'bertarung dengan kehormatan'.
Pada tanggal 13 Juli 2006, tujuh orang tewas dan tiga orang luka

Islam di Madura

Berbagai teori perihal masuknya Islam ke Indonesia terus muncul sampai saat ini. Fokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema utama, yakni tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.[1] Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah GujaratIndia melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.[1]. Melalui Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, jangkauan terjauh penyebaran Islam sudah mencapai Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Kalau Ahli Sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar, HAMKA berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus) [2]. Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk ke wilayah kerajaan Srivijaya.
Pada tahun 674M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan, memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Sima ptra ratu [[Sima dari Kalingga masuk Islam [3].
Pada tahun 718M raja Srivijaya Sri Indravarman setelah kerusuhan Kanton juga masuk Islam pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah).
Sanggahan Teori Islam Masuk Indonesia abad 13 melalui Pedagang Gujarat
Teori Islam Masuk Indonesia abad 13 melalui pedagang Gujarat adalah tidaklah benar, apabila benar maka tentunya Islam yang akan berkembang kebanyakan di Indonesia adalah aliran Syiah karena Gujarat pada masa itu beraliran Syiah, akan tetapi kenyataan Islam di Indonesia didominasi Mazhab Safi'i.
Sanggahan lain adalah bukti telah munculnya Islam di masa awal dengan bukti Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik.

 Masa kolonial

Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:
  • Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
  • Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.[4]
Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, diantara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.

 

 

Pondok Pesantren Langitan Bangkalan

Lembaga pendidikan ini dahulunya adalah hanya sebuah surau kecil tempat pendiri Pondok Pesantren Langitan, KH. Muhammad Nur mengajarkan ilmunya dan menggembleng keluarga dan tetangga dekat untuk meneruskan perjuangan dalam mengusir kompeni (penjajah) dari tanah Jawa.
KH. Muhammad Nur mengasuh pondok ini kira-kira selama 18 tahun (1852-1870 M), kepengasuhan pondok pesantren selanjutnya dipegang oleh putranya, KH. Ahmad Sholeh. Setelah kira-kira 32 tahun mengasuh pondok pesantren Langitan (1870-1902 M.) akhirnya beliau wafat dan kepengasuhan selanjutnya diteruskan oleh putra menantu, KH. Muhammad Khozin. Ia sendiri mengasuh pondok ini selama 19 tahun (1902-1921 M.). Setelah beliau wafat matarantai kepengasuhan dilanjutkan oleh menantunya, KH. Abdul Hadi Zahid selama kurang lebih 50 tahun (1921-1971 M.), dan seterusnya kepengasuhan dipercayakan kepada adik kandungnya yaitu KH. Ahmad Marzuqi Zahid yang mengasuh pondok ini selama 29 tahun (1971-2000 M.) dan keponakan beliau, KH. Abdulloh Faqih
Perjalanan Pondok Pesantren Langitan dari periode ke periode selanjutnya senantiasa memperlihatkan peningkatan yang dinamis dan signifikan namun perkembangannya terjadi secara gradual dan kondisional. Bermula dari masa KH. Muhammad Nur yang merupakan sebuah fase perintisan, lalu diteruskan masa KH. Ahmad Sholeh dan KH. Muhammad Khozin yang dapat dikategorikan periode perkembangan. Kemudian berlanjut pada kepengasuhan KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Ahmad Marzuqi Zahid dan KH. Abdulloh Faqih yang tidak lain adalah fase pembaharuan.
Dalam rentang masa satu setengah abad Pondok Pesantren Langitan telah menunjukkan kiprah dan peran yang luar biasa, berawal dari hanya sebuah surau kecil berkembang menjadi Pondok yang representatif dan populer di mata masyarakat luas baik dalam negeri maupun manca negara. Banyak tokoh-tokoh besar dan pengasuh pondok pesantren yang dididik dan dibesarkan di Pondok Pesantren Langitan ini, seperti KH.Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Syamsul Arifin (ayahanda KH. As’ad Syamsul Arifin) dan lain-lain.
Dengan berpegang teguh pada kaidah “Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah” (memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif), maka Pondok Pesantren Langitan dalam perjalanannya senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dan kontektualisasi dalam merekonstruksi bangunan-bangunan sosio kultural, khususnya dalam hal pendidikan dan manajemen.
Usaha-usaha ke arah pembaharuan dan modernisasi memang sebuah konsekwensi dari sebuah dunia yang modern. Namun Pondok Pesantren Langitan dalam hal ini mempunyai batasan-batasan yang kongkrit, pembaharuan dan modernisasi tidak boleh mengubah atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren.Sehingga dengan demikian Pondok Pesantren Langitan tidak sampai terombang-ambing oleh derasnya arus globalisasi, namun justru sebaliknya dapat menempatkan diri dalam posisi yang strategis, dan bahkan kadang-kadang dianggap sebagai alternatif. 

LoLokasi pondok berada kira-kira empat ratus meter sebelah selatan ibukota Kecamatan Widang, atau kurang lebih 30 km sebelah selatan ibukota Kabupaten Tuban, juga berbatasan dengan Desa Babat kecamatan Babat Kabupaten Lamongan dengan jarak kira-kira satu kilo meter. Dengan lokasi yang setrategis ini Pondok Pesantren Langitan menjadi mudah untuk dijangkau melalui sarana angkutan umum, baik sarana transportasi bus, kereta api, atau sarana yang lain. Adapun nama Langitan itu adalah merupakan perubahan dari kata Plangitan, kombinasi dari kata plang (jawa) berarti papan nama dan wetan (jawa) yang berarti timur. Memang di sekitar daerah Widang dahulu, tatkala Pondok Pesantren Langitan ini didirikan pernah berdiri dua buah plang atau papan nama, masing-masing terletak di timur dan barat. Kemudian di dekat plang sebelah wetan dibangunlah sebuah lembaga pendidikan ini, yang kelak karena kebiasaan para pengunjung menjadikan plang wetan sebagai tanda untuk memudahkan orang mendata dan mengunjungi pondok pesantren, maka secara alamiyah pondok pesantren ini diberi nama Plangitan dan selanjutnya populer menjadi Langitan. Kebenaran kata Plangitan tersebut dikuatkan oleh sebuah cap bertuliskan kata Plangitan dalam huruf Arab dan berbahasa Melayu yang tertera dalam kitab “Fathul Mu’in” yang selesai ditulis tangan oleh KH. Ahmad Sholeh, pada hari Selasa 29 Robiul Akhir 1297 Hijriyah.kasi
 

Jokotole Madura

Diceritakan dalam sejarah Madura bahwa cucu Bukabu mempunyai anak bernama Dewi Saini alias Puteri Kuning (disebut Puteri Kuning karena kulitnya yang sangat kuning) Kesenangannya bertapa. Dengan perkawinan batin dengan Adipoday (suka juga bertapa) putera kedua dari Penembahan Blingi bergelar Ario Pulangjiwo, lahirlah dua orang putera masing masing bernama Jokotole dan Jokowedi.

Kedua putera tersebut ditinggalkan begitu saja dihutan, putera yang pertama Jokotole diambil oleh seorang pandai besi bernama Empu Kelleng didesa Pakandangan dalam keadaan sedang disusui oleh seekor kerbau putih, sedangkan putera yang kedua Jokowedi ditemukan di pademawu juga oleh seorang Empu.

Kesenangan Jokotole sejak kecil ialah membuat senjata-senjata seperti, keris, pisau dan perkakas pertanian, bahannya cukup dari tanah liat akan tetapi Jokotole dapat merubahnya menjadi besi, demikian menurut cerita. Pada usianya yang mencapai 6 tahun bapak angkatnya mendapat panggilan dari Raja Majapahit (Brawijaya VII) untuk diminta bantuannnya membuat pintu gerbang.

Diceritakan selama 3 tahun keberangkatannya ke Majapahit Empu Kelleng belum juga ada kabarnya sehingga mengkhawatirkan nyai Empu Kelleng Pakandangan karena itu nyai menyuruh anaknya Jokotole untuk menyusul dan membantu ayahnya, dalam perjalanannya melewati pantai selatan pulau Madura ia berjumpa dengan seorang yang sudah tua didesa Jumijang yang tak lain adalah pamannya sendiri saudara dari Ayahnya yaitu Pangeran Adirasa yang sedang bertapa dan iapun memenggil Jokotole untuk menghampirinya lalu Jokotolepun menghampiri, Adirasa lalu menceritakan permulaan sampai akhir hal ihwal hubungan keluarga dan juga ia memperkenalkan adik Jokotole yang bernama Jokowedi, selain itu Jokotole menerima nasihat-nasihat dari Adirasa dan ia juga diberinya bunga melati pula, bunga melati itu disuruhnya untuk dimakannya sampai habis yang nantinya dapat menolong bapak angkatnya itu yang mendapat kesusahan di Majapahit dalam pembuatan pintu gerbang.

Pembuatan pintu gerbang itu harus dipergunakan alat pelekat, pelekat yang nantinya akan dapat keluar dari pusar Jokotole sewaktu ia dibakar hangus, oleh karena itu nantinya ia harus minta bantuan orang lain untuk membakar dirinya dengan pengertian jika Jokotole telah hangus terbakar menjadi arang pelekat yang keluar dari pusarnya supaya cepat cepat diambil dan jika sudah selesai supaya ia segera disiram dengan air supaya dapat hidup seperti sediakala.
Jokotole diberi petunjuk bagaimana cara untuk memanggil pamannya (Adirasa). Apabila ia mendapat kesukaran, selain mendapat nasihat-nasihat ia juga mendapat kuda hitam bersayap (Si Mega) sehingga burung itu dapat terbang seperti burung Garuda dan sebuah Cemeti dari ayahnya sendiri Adipoday.

Setelah Jokotole pamit untuk ke Majapahit sesampainya di Gresik mendapat rintangan dari penjaga-penjaga pantai karena ia mendapat perintah untuk mencegat dan membawa dua sesaudara itu ke istana, perintah raja itu berdasarkan mimpinya untuk mengambil menantu yang termuda diantara dua sesaudara itu. Dua sesaudara itu datanglah ke istana, ketika dua orang sesaudara itu diterima oleh Raja diadakan ramah tamah dan di utarakan niatan Raja menurut mimpinya, karena itu dengan iklas Jokotole meninggalkan adiknya dan melanjutkan perjalanannya menuju Majapahit.

Setelah mendapat izin dari ayah angkatnya untuk menemui Raja Majapahit ia lalu ditunjuk sebagai pembantu empu-empu, pada saat bekerja bekerja dengan empu-empu Jokotole minta kepada empu-empu supaya dirinya dibakar menjadi arang bila telah terbakar supay diambilanya apa yang di bakar dari pusarnya dan itulah naninya yang dapat dijadikan sebagai alat pelekat. Apa yang diminta Jokotole dipenuhi oleh empu-empu sehingga pintu gerbang yang tadinya belum bisa dilekatkan, maka sesudah itu dapat dikerjakan sampai selesai. Setelah bahan pelekatnya di ambil dari pusar Jokotole ia lalu disiram dengan air supaya dapat hidup kembali.
Selanjutnya yang menjadi persoalan ialah pintu gerbang tadi tidak dapet didirikan oleh empu-empu karena beratnya, dengan bantuan jokotole yang mendapat bantuan dari pamannya Adirasa yang tidak menampakkan diri, pintu gerbang yang tegak itu segera dapat ditegakkan sehingga perbuatan tersebut menakjubkan bagi Raja, Pepatih, Menteri-menteri dan juga bagi empu-empu, bukan saja dibidang tehnik Jokotole memberi jasa-jasanya pula bantuannya pula misalnya dalam penaklukan Blambangan, atas jasa-jasanya itu Raja Majapahit berkenan menganugerahkan Puteri mahkota yang bernama Dewi Mas Kumambang, tetapi karena hasutan patihnya maka keputusan untuk mengawinkan Jokotole dengan Puterinya ditarik kembali dan diganti dengan Dewi Ratnadi yang pada waktu itu buta karena menderita penyakit cacat, sebagai seorang kesatria Jokotole menerima saja keputusan Rajanya.
Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit Jokotole minta izin untuk pulang ke Madura dan membawa isterinya yang buta itu, dalam perjalanan kembali ke Sumenep sesampainya di pantai madura isterinya minta izin untuk buang air, karena ditempat itu tidak ada air, maka tongkat Isterinya diambil oleh Jokotole dan ditancapapkan ke tanah yang ke betulan mengenai mata isterinya yang buta itu, akibat dari percikan air itu, maka tiba-tiba Dewi Ratnadi dapat membuka matanya sehingga dapat melihat kembali, karena itu tempat itu dinamakan "Socah " yang artinya mata.

Didalam perjalanannya ke Sumenep banyaklah kedua suami isteri itu menjumpai hal-hal yang menarik dan memberi kesan yang baik, misalnya sesampainya mereka di Sampang, Dewi Ratnadi ingin mencuci kainnya yang kotor karena ia menstruasi, lalu kain yang di cucinya itu dihanyutkan oleh kain sehingga tidak ditemukan. Kain dalam tersebut oleh orang Madura disebut "Amben" setelah isterinya kehilangan Amben maka Jokotole berkata Mudah-mudahan sumber ini tidak keluar dari desa ini untuk selama-lamanya, sejak itu desa itu disebut desa "Omben" dan ketika Jokotole menjumpai ayahnya ditempat pertapaan di Gunung Geger diberitahunya bahwa ia nantinya akan berperang dengan prajurit yang ulung dan bernama Dempo Abang (Sampo Tua Lang), seorang panglima perang dari negeri Cina yang menunjukkan kekuatannya kepada Raja-raja ditanah Jawa, Madura dan sekitarnya.


Pada suatu ketika waktu Jokotole bergelar Pangeran Setyodiningrat III memegang pemerintahan di Sumenep kurang lebih 1415 th, datanglah musuh dari negeri Cina yang dipimpin oleh Sampo Tua Lang dengan berkendaraan kapal yang dapat berjalan diatas Gunung diantara bumi dan langit.
Didalam peperangan itu Pangeran Setyoadiningrat III mengendarai kuda terbang sesuai petunjuk dari pamannya (Adirasa), pada suatu saat ketika mendengar suara dari pamannya yang berkata "pukul" maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras sehingga kepala dari kuda itu menoleh kebelakang dan ia sendiri sambil memukulkan cambuknya yang mengenai Dempo Awang beserta perahunya sehingga hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah

Dengan kejadian inilah maka kuda terbang yang menoleh kebelakang dijadikan lambang bagi daerah Sumenep, sebenarnya sejak Jokotole bertugas di Majapahit sudah memperkenalkan lambang kuda terbang.

Dipintu gerbang dimana Jokotole ikut membuatnya terdapat gambar seekor kuda yang bersayap dua kaki belakang ada ditanah sedang dua kaki muka diangkat kebelakang, demikian pula di Asta Tinggi Sumenep disalah sati Congkop (koepel) terdapat kuda terbang yang dipahat diatas marmer. Juga pintu gerbang rumah kabupaten (dahulu Keraton) Sumenep ada lambang kuda terbang. Di museum Sumenep juga terdapat lambang kerajaan yang ada kuda terbangnya, karena itu sudah sepantasnyalah jika pemerintahan kota Sumenep memakai lambang kuda terbang.

Kabupaten Pamekasan

Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika Ronggosukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labangan Daja ke Kraton Mandilaras. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya.

      Tempat Wisata

Kabupaten Sampang

Kabupaten Sampang secara administrasi terletak dalam wilayah Propinsi Jawa Timur yang secara geografis terletak di antara 113o08’ - 113o39’ Bujur Timur dan 6o 05’ - 7o13’ Lintang Selatan. Kabupaten Sampang terletak ± 100 Km dari Surabaya, dapat dengan melalui Jembatan Suramadu kira2 1,5 jam atau dengan perjalanan laut kurang lebih 45 menit dilanjutkan dengan perjalanan darat ± 2 jam. batas-batas wilayah Kabupaten Sampang adalah : • Sebelah Utara : Laut Jawa • Sebelah Selatan : Selat Madura • Sebelah Barat : Kabupaten Bangkalan. • Sebelah Timur : Kabupaten Pamekasan.
Secara keseluruhan Kabupaten Sampang mempunyai luas wilayah sebanyak 1.233,30 Km2. Proporsi luasan 14 kecamatan terdiri dari 6 kelurahan dan 180 Desa. Kecamatan Banyuates dengan luas 141,03 Km2 atau 11,44 % yang merupakan Kecamatan terluas, sedangkan Kecamatan terkecil adalah Pangarengan dengan luas hanya 42,7 Km2 (3,46 %).
Kabupaten Sampang mempunyai 1 buah pulau berpenghuni yang terletak di sebelah selatan Kecamatan Sampang. Nama pulau tersebut adalah Pulau Mandangin, luas Pulau Mandangin sebesar 1,650 km2. Akses transportasi ke Pulau Mandangin adalah dengan menggunakan transportasi air dalam hal ini adalah perahu motor yang berada di Pelabuhan Tanglok. Perjalanan dari Pelabuhan Tanglok menuju Pulau Mandangin ini membutuhkan waktu ± 30 menit Masakan khas kota ini adalah kaldu. Selain itu makanan khasnya adalah nasi jagung


       Tempat Wisata
  • Pulau Mandangin
  • Pantai Camplong
  • Kuburan Madegan
  • Waduk Klampis
  • Air terjun Toroan
  • Reruntuhan Raden Segoro dan hutan monyet Nepa
  • Reruntuhan Pababaran
  • Kuburan Rato Ebu

Kabupaten Sumenep madura

Kabupaten ini terletak di ujung timur Pulau Madura. Kabupaten Sumenep selain terdiri wilayah daratan juga terdiri dari berbagai pulau di Laut Jawa, yang keseluruhannya berjumlah 126 pulau. Pulau yang paling utara adalah Pulau Karamian dalam gugusan Kepulauan Masalembu dan pulau yang paling timur adalah Pulau Sakala.
Batas-batas kabpuaten ini adalah sebagai berikut. Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, aebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa/Laut Flores.
Kabupaten ini memiliki 26 kecamatan, baik di daratan Pulau Madura maupun di gugus kepulauan. Daftar kecamatan di Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada boks di bagian akhir artikel ini.

                   Wisata
  • Pantai Lombang - adalah pantai dengan hamparan pasir putih dan gugusan tanaman cemara udang yang tumbuh di areal tepi dan sekitar pantai. Suasananya sangat teduh dan indah sekali. Pantai Lombang adalah satu-satunya pantai di Indonesia yang ditumbuhi pohon cemara udang.
  • Pantai Slopeng - adalah pantai dengan hamparan gunung pasir putih yang mengelilingi sisi pantai sepanjang hampir 6 km. Kawasan pantai ini sangat cocok untuk mancing ria karena areal lautnya kaya akan beragam jenis ikan, termasuk jenis ikan tongkol.

       Ragam hal
  • Sumenep adalah kabupaten di pulau Madura yang sejak dulu tercatat sebagai daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya paling besar di Madura. Ini dikarenakan kabupaten ini memiliki sumber gas dan minyak yang cukup besar yang ada di pulau Pagerungan.
  • Masyarakat kabupaten Sumenep sangat ramah, mungkin disebabkan adanya pengaruh budaya kalem keraton jawa yang dianut masyarakat, terutama para bangsawan dan abdi dalem Keraton Sumenep.
  • Sejak dulu Kabupaten Sumenep tercatat sebagai kabupaten dengan tingkat penjualan sepeda motor dan mobil terbesar dan tertinggi di seluruh kawasan pulau Madura. Ini menandakan tingkat kesejahteraan masyarakat di

Tempat Wisata Di Kab. Bangkalan

  • Pantai Rongkang
  • Pantai Sambilangan
  • Bukit Geger
  • Kuburan Aermata
  • Pantai Siring Kemuning di desa Macajah, Tanjungbumi
  • Beautiful Garden di desa Macajah, Tanjungbumi
  • Batik Telaga Biru
  • Perahu Peninggalan Saichona Moh. Chollil di desa Telaga Biru, Tanjungbumi

Kabupaten Bangkalan madura

Kabupaten Bangkalan, adalah sebuah kabupaten di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Bangkalan. Kabupaten ini terletak di ujung paling barat Pulau Madura; berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Sampang di timur serta Selat Madura di selatan dan barat.
Pelabuhan Kamal merupakan pintu gerbang Madura dari Jawa, dimana terdapat layanan kapal ferry yang menghubungkan Madura dengan Surabaya (Pelabuhan Ujung). Saat ini telah dibangun Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) yang saat ini adalah jembatan terpanjang dan terbesar di Indonesia. Bangkalan merupakan salah satu kawasan perkembangan Surabaya serta tercakup dalam lingkup Gerbangkertosusila.
Kabupaten Bangkalan terdiri atas 18 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Bangkalan.

Selasa, 15 Maret 2011

gambar tradisi madura




Perbandingan bahasa madura dg melayu

Bahasa Bawean juga banyak yang sememangnya sama dengan Bahasa Melayu, contohnya:
  • Dapur (baca: Depor) = Dapur
  • Kanan = Kanan
  • Banyak (baca: benyyak) = Banyak
  • Masuk = Masuk
  • Suruh = Suruh
Perbedaan imbuhan di depan, contohnya:
  • Ngakan = Makan
  • Nginum = Minum
  • Arangkak = Merangkak
Konsonan [j] biasanya ditukar ke [d͡ʒ], seperti:
  • Bajar (baca: Bejer) = Bayar
  • Lajan (baca: Lajen) = Layan
  • Sembhajang (baca: sembejeng) = Sembahyang
Konsonan [w] di pertengahan pula ditukar ke konsonan [b], seperti:
  • Bhabang (baca: Bebeng)= Bawang
  • Jhaba (baca: Jebe) = Jawa

Perbandingan bahasa madura dg melayu

Bahasa Bawean juga banyak yang sememangnya sama dengan Bahasa Melayu, contohnya:
  • Dapur (baca: Depor) = Dapur
  • Kanan = Kanan
  • Banyak (baca: benyyak) = Banyak
  • Masuk = Masuk
  • Suruh = Suruh
Perbedaan imbuhan di depan, contohnya:
  • Ngakan = Makan
  • Nginum = Minum
  • Arangkak = Merangkak
Konsonan [j] biasanya ditukar ke [d͡ʒ], seperti:
  • Bajar (baca: Bejer) = Bayar
  • Lajan (baca: Lajen) = Layan
  • Sembhajang (baca: sembejeng) = Sembahyang
Konsonan [w] di pertengahan pula ditukar ke konsonan [b], seperti:
  • Bhabang (baca: Bebeng)= Bawang
  • Jhaba (baca: Jebe) = Jawa

Di alek-alek bahasa madura

Bahasa Madura juga mempunyai dialek-dialek yang tersebar di seluruh wilayah tuturnya. Di Pulau Madura sendiri pada galibnya terdapat beberapa dialek seperti:
Dialek yang dijadikan acuan standar Bahasa Madura adalah dialek Sumenep, karena Sumenep di masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura. Sedangkan dialek-dialek lainnya merupakan dialek rural yang lambat laun bercampur seiring dengan mobilisasi yang terjadi di kalangan masyarakat Madura. Untuk di pulau Jawa, dialek-dialek ini seringkali bercampur dengan Bahasa Jawa sehingga kerap mereka lebih suka dipanggil sebagai Pendalungan daripada sebagai Madura. Masyarakat di Pulau Jawa, terkecuali daerah Situbondo, Bondowoso, dan bagian timur Probolinggo umumnya menguasai Bahasa Jawa selain Madura.
Contoh pada kasus kata ganti "kamu":
  • kata be'en umum digunakan di Madura. Namun kata be'na dipakai di Sumenep.
  • sedangkan kata kakeh untuk kamu lazim dipakai di Bangkalan bagian timur dan Sampang.
  • Heddeh dan Seddeh dipakai di daerah pedesaan Bangkalan.
Khusus Dialek Kangean, dialek ini merupakan sempalan dari Bahasa Madura yang karena berbedanya hingga kerap dianggap bukan bagian Bahasa Madura, khususnya oleh masyarakat Madura daratan.
Contoh:
  • akoh: saya (sengko' dalam bahasa Madura daratan)
  • kaoh: kamu (be'en atau be'na dalam bahasa Madura daratan)
  • berrA' : barat (berre' dengan e schwa dalam bahasa Madura daratan)
  • morrAh: murah (modhe dalam bahasa Madura daratan)

[sunting] Bawean

Bahasa Bawean ditengarai sebagai kreolisasi bahasa Madura, karena kata-kata dasarnya yang berasal dari bahasa ini, namun bercampur aduk dengan kata-kata Melayu dan Inggris serta bahasa Jawa karena banyaknya orang Bawean yang bekerja atau bermigrasi ke Malaysia dan Singapura, Bahasa Bawean memiliki ragam dialek bahasa biasanya setiap kawasan atau kampung mempunyai dialek bahasa sendiri seperti Bahasa Bawean Dialek Daun, Dialek Kumalasa, Dialek Pudakit dan juga Dialek Diponggo. Bahasa ini dituturkan di Pulau Bawean, Gresik, Malaysia, dan Singapura. Di dua tempat terakhir ini bahasa Bawean dikenal sebagai Boyanese. Intonasi orang Bawean mudah dikenali di kalangan penutur bahasa Madura. Perbedaan kedua bahasa dapat diibaratkan dengan perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, yang serupa tapi tak sama meskipun masing-masing dapat memahami maksudnya. Contoh-contoh:
  • eson atau ehon = aku (sengkok/engkok dalam bahasa Madura)
  • kalaaken = ambilkan (kalaagghi dalam bahasa Madura)
  • trimakasih = terimakasih (salengkong / sakalangkong / kalangkong dalam Bahasa Madura)
  • adek = depan (adek artinya dalam bahasa Madura

sistem pengucapan bahasa madura

Bahasa Madura mempunyai sistem pelafalan yang unik. Begitu uniknya sehingga orang luar Madura yang berusaha mempelajarinyapun mengalami kesulitan, khususnya dari segi pelafalan tadi.
Bahasa Madura mempunyai lafal sentak dan ditekan terutama pada konsonan [b], [d], [j], [g], jh, dh dan bh atau pada konsonan rangkap seperti jj, dd dan bb . Namun demikian penekanan ini sering terjadi pada suku kata bagian tengah.
Sedangkan untuk sistem vokal, Bahasa Madura mengenal vokal [a], [i], [u], [e], [ə] dan [o].

tata cara bahasa madura

Bahasa Madura merupakan anak cabang dari bahasa Austronesia ranting Malayo-Polinesia, sehingga mempunyai kesamaan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia.
Bahasa Madura banyak terpengaruh oleh Bahasa Jawa, Melayu, Bugis, Tionghoa dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk sistem hierarki berbahasa sebagai akibat pendudukan Mataram atas Pulau Madura. Banyak juga kata-kata dalam bahasa ini yang berakar dari bahasa Indonesia atau Melayu bahkan dengan Minangkabau, tetapi sudah tentu dengan lafal yang berbeda.
Contoh :
  • bhila (huruf "a" dibaca [e] ) sama dengan bila = kapan
  • oreng = orang
  • tadha' = tidak ada (hampir sama dengan kata tadak dalam Melayu Pontianak)
  • dhimma (baca: dimmah) = mana? (hampir serupa dengan dima di Minangkabau)
  • tanya = sama dengan tanya
  • cakalan = tongkol (hampir mirip dengan kata Bugis : cakalang tapi tidak sengau)
  • onggu = sungguh, benar (dari kata sungguh)
  • Kamma (baca: kammah mirip dengan kata kama di Minangkabau)= kemana?

Bahasa Madura

Bahasa Madura adalah bahasa yang digunakan Suku Madura. Bahasa Madura mempunyai penutur kurang lebih 14 juta orang [1], dan terpusat di Pulau Madura, Ujung Timur Pulau Jawa atau di kawasan yang disebut kawasan Tapal Kuda terbentang dari Pasuruan, Surabaya, Malang, sampai Banyuwangi, Kepulauan Kangean, Kepulauan Masalembo, hingga Pulau Kalimantan.
Di Pulau Kalimantan, masyarakat Madura terpusat di kawasan Sambas, Pontianak, Bengkayang dan Ketapang, Kalimantan Barat, sedangkan di Kalimantan Tengah mereka berkonsentrasi di daerah Kotawaringin Timur, Palangkaraya dan Kapuas. Namun kebanyakan generasi muda Madura di kawasan ini sudah hilang penguasaan terhadap bahasa ibunda mereka.

Kamis, 10 Maret 2011

Gambar Karapan Sapi

Sate Madura

Sate Madura adalah sate khas Madura. Sate Madura biasanya terbuat dari ayam. Madura selain terkenal sebagai pulau garam, juga terkenal dengan satenya. Sate madura sudah terkenal di seluruh Nusantara, Sate Madura dapat ditemukan hampir di semua daerah khususnya di kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Konon di Madura sendiri sate susah dicari. Tetapi selain ayam sebagai bahan utama sate juga ada yang menggunakan kambing yang ditandai dengan digantungnya bagian kaki belakang si kambing di rombong sang penjual sate. Bumbunya adalah campuran kacang yang ditumbuk halus petis dan sedikit bawang merah. Memanggangnya dengan api dari batok kelapa yang dihanguskan lebih dulu yang disebut dengan arang batok kelapa. Rasanya gurih tapi dipantangkan kepada mereka yang berkolesterol tinggi dan yang pengidap asam urat akut.



Sate Madura umumnya adalah sate ayam yang diberi sambal berupa saus kacang. Namun di Madura sendiri kadangkala yang dipakai bukanlah saus kacang namun saus atau sambal kemiri. Selain itu seringkali arang pembakaran sate ini sering ditaburi dengan jeruk limau.

Untuk meraup lebih banyak keuntungan, pedagang sate sering mencampur bumbu kacang dengan nasi kering yang telah dihaluskan. Nasi kering ini, dalam bahasa Bali disebut senggauk, merupakan nasi sisa yang dijemur di bawah terik matahari. Di beberapa daerah di Jawa, seperti pesisir utara, sepanjang pantura (pantai utara) meliputi daerah Indramayu, Brebes, nasi semacam itu disebutnya nasi aking. Umumnya dimakan orang-orang miskin yang tidak mampu membeli beras yang termurah sekalipun.

Nasi Jagung Khas Madura

Nasi Jagung

Kondisi tanah dan iklim Madura sangat cocok untuk tanaman jagung. Rasa jagung yang ditanam di Madura, konon, lebih enak dibanding jagung dari daerah lain. Sebagian masyarakat Madura, bahkan, menggunakan jagung sebagai makanan pokok.

Jika Anda bekunjung ke Madura, penjual nasi jagung dapat dengan mudah ditemui di pasar-pasar tradisional. Biasanya, penjual nasi jagung membawa dagangannya dalam bakul bambu.

Nasi jagung madura tentu saja dibuat dari beras jagung dengan campuran sedikit beras putih biasa. Nasi jagung terasa sedap karena disajikan hangat di atas wadah dari daun pisang. Nasi jagung cukup menyehatkan karena dilengkapi urap sayur-sayuran segar, berupa taoge dan kacang panjang.

Selain urap, pilihan lainnya adalah sayur lodeh. Untuk lauknya, tersedia pepes tongkol dan tempe bumbu bali. Nasi jagung makin terasa sedap jika dimakan dengan sambal.

Soto Madura

Soto Madura

Soto madura menggunakan bahan dasar daging sapi, telur rebus, tauge, dan kentang goreng. Adapun bumbu kuahnya terdiri atas bawang putih, jahe, kunyit, lengkuas, kemiri, jeruk purut, dan garam.

Soto madura disajikan dengan taburan daun bawang, daun seledri, dan bawang goreng. Untuk pelengkap, soto dihidangkan dengan sambal dan irisan jeruk nipis.

Di Sumenep, soto disajikan dengan singkong rebus. Soto unik ini memakai tauge goreng, bihun, bawang daun, bawang goreng, daging sapi, dan usus sapi. Soto sumenep disajikan dengan bumbu kacang yang dibuat dari kacang, petis, dan pisang muda, yang diulek hingga halus.

Lain lagi di Pamekasan. Soto pamekasan berbahan kentang rebus, perkedel kentang, dan tauge, yang diguyur kuah kaldu bening berbumbu merica dan bawang putih. Soto sumenep dihidangkan dengan taburan bawang goreng dan daun seledri. Sebagai pelengkap, soto dimakan dengan lontong, rempeyek, dan bakwan jagung.

Sementara itu, di Bangkalan, selain daging sapi, kadang soto memakai bahan daging ayam atau jeroan. Soto bangkalan disajikan dengan taburan kentang goreng. Untuk kuahnya, ada dua jenis, yakni kuah bening dan kuah kuning.

makanan khas madura

Madura. Pulau seluas 4.250 kilometer persegi di sebelah timur laut Pulau Jawa ini, menyimpan kekayaan kuliner yang tidak kalah dari daerah-daerah lain di Indonesia. Jika diminta menyebutkan makanan khas Madura, kita pasti akan menyebut soto dan sate.

Sebenarnya, makanan khas Madura bukan hanya soto dan sate. Di Madura, kita dapat menjumpai makanan unik lain yang jarang ditemui di daerah lain, seperti nasi jagung dan kaldu soto



MADURA

Nilai Budaya Madura

Nilai budaya
Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.

Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.

Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.

Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi.
Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.

Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. (ali gufron)